Kamis, 24 April 2014

Sistem Pemilihan Umum di Indonesia


 
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

PENGERTIAN SISTEM PEMILIHAN UMUM

          Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, wakil presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai yang paling sederhana atau paling kecil yaitu kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilihan umum juga dapat berarti proses mengisi jabatan –jabatan tertentu. Pemilu merupkan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif ( tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan, komunikasi massa, dan lain-lain. Dalam Negara demokrasi propaganda dan agitasi sangat dikecam, namun dalam kampanye PEMILU, teknik agitasi dan propaganda banyak juga dipakai oleh oleh para kandidat sebagai komunikator.
        
          Biasanya para kandidat akan melakukan  kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
 
          Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam system pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
a)      Single member constituency ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut system distrik )
b)      Multy member constituency ( satu daerah pemlihan memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan system perwakilan berimbang atau system proporsional ).
Disamping itu ada beberapa varian seperti block vote ( BV), alternative vote (AV), system dua putaran atau two round system(TRS), system pararel, limited vote( LV), single non- transferable (SNTV),mixed member proportional (MMP), dan single transferable vote(STV). Tiga yang pertama lebih dekat dengan system distrik, sedangkan yang lain lebih dekat dengan system proporsional atau semi proporsional.

Dalam system distrik, satu wilawah kecil (yaitu distrik pemilihan ) memilah salah satu wakil tunggal atas dasar pluralitas ( suara terbanyak ). Dalam system proporsional, satu wilawah besar ( yaitu daerah pemilihan )memilih beberapa wakil (multi member constituency) perbedaan pokok antara dua system ini ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
                                                                                                                                   
          System distrik merupakan system pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geograis ( yang biasa disebut “distrik”  karena kecilnya daerah yang tercakup ) memperoleh satu kursi daalm parlemen. Untuk itu Negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam system distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilawah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi. Hal ini terjadi walaupun selisih suara sangat kecil, suara yang tadinya mendukung kontestan lain diangggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partai di distrik lain.

          Dalam system proporsional, suatu  wilayah dianggap sebagai suatu kesatuan  dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai kursi yang  diperoleh oleh para kontestan , secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara  itu. Dalam system proporsional tidak ada suara yang terbuang  atau hilang seperti yang terjadi dalam system distrik.

         System distrik sering dipakai di Negara yang mempunyai system dwi- partai, seperti inggris dan Negara bekas jajahannya  seperti  India dan Malaysia serta Amerika. Sedangkan system proporsional sering diselenggarakan dalam Negara dengan banyak ( multi)partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia.    
            

    SISTEM PEMILIHAN DI INDONESIA DAN KEEFEKTIFAN SISTEM PEMILU ITU SENDIRI

          Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu 1945,1971,1977,1982,1992,1997,1999,2004 dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena ditengah suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan PEMILU , bahkan dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
    
         Semua pemiliha umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.                                                                                                                              
a.       Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
          Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktobere 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara.

           Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.

         Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II)  yang memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.

b.      Zaman Demokrasi Terpimpin  (1959-1965)
          Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
 
c.        Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
          Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem  politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum . pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
                                                                                                                       
           Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.

           Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai. 

d.      Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru.  Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold , yaitu ketentuan bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat.

http://donitadn083.blogspot.com/2012/11/sistem-pemilihan-umum-pemilu-di.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar